Beliau ialah ulama zuhud dan tawadhu’, penuh
keteladanan dan akhlak mulia, suka menolong serta dermawan. Sebagian jalur
habaib, terutama Ba’alawi, adalah keturunannya.
Di Mirbath, Oman Selatan, ada seorang ulama
besar yang terkenal dermawan, suka menyantuni fakir miskin, dan rumahnya
terbuka bagi siapa saja.
Nama lengkapnya Habib Muhammad bin Ali bin
Alwi bin Muhammad bin Alwi al-Alawiyin bin Ubaydillah bin Ahmad al-Muhajir. Ia
menghabiskan sebagian besar umurnya di Mirbath, di kawasan Dhofar, Kesultanan
Oman Selatan (yang kini bernama Salalah), setelah hijrah dari kota
kelahirannya, Tarim, Hadramaut. Setelah menetap di Mirbath, pengaruh ulama ini
cukup besar, sehingga mendapat gelar Shahib Mirbath.Sejak kecil, ia dididik
oleh ayahandanya, Ali Khali’ Qasam, dengan pendidikan agama, termasuk
memperdalam dan menghafal Al-Quran. Menjelang dewasa ia merantau ke berbagai
tempat untuk menimba ilmu dan mencari pengalaman. Setelah merasa cukup,
belakangan ia mengabdikan ilmunya – seperti syariat, tasawuf, dan bahasa Arab –
di Hadramaut, sebelum tiba saatnya hijrah ke Mirbath. Di Hadramaut maupun Oman,
namanya termasyhur, bahkan dikenal sebagai wali, terutama lantaran akhlaknya yang
mulia, perilakunya yang istikamah, lapang dada, dengan wawasan keagamaan yang
luas.
Selain sebagai mubalig, ia juga dikenal
dermawan, suka membantu orang yang membutuhkan, dan berkorban harta bagi
kepentingan umum. Rumahnya di Mirbath senantiasa terbuka bagi para tamu dari
segala lapisan, mulai dari ulama, politikus, sampai orang biasa, dari perbagai
penjuru. Ia memang sangat dekat dengan masyarakat.Bukan hanya itu, ia juga suka
menyantuni keluarga yang tidak mampu. Tak kurang dari 120 kepala keluarga menerima
santunannya setiap bulan secara rutin. Ia juga suka membantu orang-orang yang
membutuhkan pertolongannya. Setiap tamu yang datang ke rumahnya selalu ia jamu
dengan penuh penghormatan.Ia juga seorang pengusaha besar. Bisnisnya meliputi
bidang pertanian, peternakan ayam, dan berbagai usaha yang berhubungan dengan
hajat orang banyak. Tanahnya di Bait Jubair cukup luas dan subur. Hasil ladang
pertaniannya luar biasa banyak. Salah satu ladangnya di Bait Jubair dalam satu
musim pernah menghasilkan sekitar 40 kuintal gandum.Salah satu keistimewaannya
ialah suka bepergian ke berbagai tempat. Hampir semua tempat telah ia kunjungi.
Setiap kali ia berkunjung ke sebuah desa selalu disambut beramai-ramai oleh
penduduk setempat. Ia memang sangat terkenal dan berpengaruh di kalangan rakyat
kecil.
Pada awal abad kelima Hijriah ia pindah dari
Tarim ke Mirbath, dan selanjutnya bermukim di sana sampai akhir hayatnya. Sejak
ia tinggal di Mirbath, banyak orang yang mengunjunginya. Bukan sekadar
bersilaturahmi, tapi juga menimba ilmu agama. Maka dengan senang hati ia
berdakwah dan mengajar.
Empat Anak
Kesibukannya menerima tamu dan mengajar tak
mengurangi aktivitasnya beriktikaf, yang sering ia lakukan di berbagai masjid,
terutama di Masjid Jami’ Mirbath. Masjid ini memang sengaja ia bangun khusus
untuk masyarakat sekitar Mirbath. Di sana pula, ia mengajar dan berdakwah,
selain beriktikaf.
Penduduk Mirbath sangat menghormatinya,
terutama karena pribadinya yang penuh dengan keteladanan dan berwibawa. Tutur
katanya lembut dan menarik, akhlaknya mulia dan sangat memesona. Selain
bertakwa, hidupnya juga warak dan zuhud. Sebagaimana ditulis oleh Sayid
Muhammad dalam kitab Al-Masyrau’r Rawy, tingkat keulamaan Shahib Mirbath telah
mencapai Syaikhul Masyayikhil Islam (guru besar luar biasa dalam bidang ilmu
agama Islam) dan ‘Ilmul-ulama al-A’lam (sumber ilmu para ulama). Dapat
disimpulkan, kehadiran Shahib Mirbath di Mirbath banyak memberi manfaat bagi
penduduk sekitarnya.
Shahib Mirbath dikaruniai empat orang anak
lelaki: Abdullah, Ahmad, Alwi, dan Ali. Dari merekalah di kemudian hari
berkembang cikal bakal keluarga besar Ba’alawi.
Putra
pertama,
Abdullah, menurut sumber-sumber sejarah, antara lain dalam kitab Al-Madkhal
karya Sayid Alwi ibnu Thahir Alhadad, mempunyai keturunan yang kemudian menjadi
pelopor dakwah di Asia Tenggara.
Putra
kedua, Ahmad,
mempunyai seorang putri bernama Zainab, yang dijuluki Ummul Fuqara’, istri
Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad ibnu Shahib Mirbath.
Putra
ketiga,
Alwi Ammul Faqih, adalah sumber pertalian darah beberapa habib, seperti
Alhadad, Aidid, ibn Smith.
Putra
keempat,
Ali, ia adalah ayah Al-Faqih Al-Muqaddam.
Dari merekalah kemudian keturunan Bani
Alawiyin berkembang menjadi lebih kurang 75 leluhur, di samping leluhur
Alawiyin lainnya dari keturunan Al-Imam Alwi Ammil Faqih Al-Muqaddam bin
Muhammad Shahib Mirbath, yang akhirnya beranak-pinak menjadi lebih kurang 16
leluhur.
Adapun Ba’alawi adalah gelar kehormatan yang
diberikan kepada keturunan Alawi bin Ubaidullah bin Ahmad bin Isa Al-Muhajir.
Cucu Ahmad bin Isa Al-Muhajir yang bernama Alawi adalah orang pertama yang
dilahirkan di Hadramaut. Oleh karena itu anak-cucu Alawi mendapat gelar
Ba’alawi, yang bermakna “Keturunan Alawi”. Panggilan Ba’alawi juga bertujuan
memisahkan kelompok keluarga ini dari cabang-cabang keluarga lain yang
berketurunan dari Rasulullah SAW. Ba‘alawi juga dikenal dengan panggilan Sayid.
Shahib Mirbath telah berhasil mendidik
kader-kader ulama sehingga menjadi ulama-ulama besar. Selain keempat putranya
sendiri, ada beberapa ulama lain hasil didikannya, seperti Syekh Muhammad bin
Ali (yang dimakamkan di kota Sihr), Syekh Al-Imam Ali bin Abdullah
Adh-Dhafariyin, Syekh Salim bin Fadhl, Syekh Ali bin Ahmad Bamarwan, Al-Qadhi
Ahmad bin Muhammad Ba’isa, Syekh Ali bin Muhammad Al-Khatib.
Dari sinilah di kemudian hari muncul beberapa
generasi yang melancarkan dakwah ke seantero negeri. Dalam salah satu bait dari
sebuah syairnya yang indah, Habib Abdullah bin Alwi Alhadad melukiskannya,
“Penghuni Mirbath (adalah) seorang imam, pusat bermuaranya keturunannya, (yang
kemudian menjadi) para ahli dakwah.” Shahib Marbath wafat pada 556 H/1136 M,
dan dimakamkan di desa yang dicintainya, Mirbath.
No comments:
Post a Comment